Kamis, 08 Oktober 2009

Menunggu Wujud Investasi Negara

Setelah ditunggu hampir tujuh tahun lamanya, akhirnya undang-undang kesehatan baru disetujui DPR pada 14 September 2009. Undang-undang ini bukanlah amendemen UU Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 karena memang terlalu banyak hal baru yang tidak sekadar amendemen.

Pemerintah memang belum mengundangkan, karenanya belum ada nomor untuk undang-undang kesehatan yang baru ini. Lamanya proses pembuatan undang-undang kesehatan mencerminkan ada masalah-masalah sulit dan kontroversial yang harus diselesaikan. Walau demikian, banyak pihak mengkhawatirkan penyelesaian undang-undang yang dikebut pada akhir masa jabatan DPR, kejar tayang, mengorbankan mutu undang-undang kesehatan.

Sudah ada beberapa tulisan yang misalnya menuding bahwa undang-undang ini sangat liberal dan pemerintah akan lepas tangan. Sebaliknya ada yang menilai undang-undang ini akan membuat pemerintah mengatur terlalu banyak, misalnya mengatur harga obat. Sebuah undang-undang memang tidak akan pernah memuaskan semua pihak. Terlepas dari kontroversi, ada beberapa perubahan mendasar dalam undang-undang kesehatan yang baru.

Pengakuan Kesehatan sebagai Investasi

Dalam undang-undang kesehatan yang lama, nuansa kesehatan hanyalah bagian dari kesejahteraan memang kental dan tidak jelas komitmen pemerintah untuk menyehatkan bangsa. Dalam undang-undang kesehatan yang baru, keterkaitan kesehatan dengan kerugian ekonomis dan daya saing bangsa telah masuk dalam pertimbangan.

Upaya meyakinkan pemerintah dan pengambil kebijakan bahwa pendanaan kesehatan, untuk program-program promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sebagai investasi bangsa telah terakomodasi. Undang-undang kesehatan yang baru telah menempatkan paradigma baru dalam pembangunan kesehatan.

Walau demikian, harus dipahami bahwa konsideran tersebut merupakan rumusan yang umumnya disusun oleh orang-orang kesehatan di DPR dan wakil dari Departemen Kesehatan. Sementara untuk mewujudkan visi kesehatan sebagai investasi bangsa harus melibatkan pengambilkeputusan,khususnya di badan perencanaan dan di sektor keuangan yang memiliki pola pikir yang berbeda.

Praktik yang dapat diamati selama ini menunjukkan bahwa pembangunan kesehatan belum menjadi prioritas utama.Hanya dalam retorika politik, dalam pilkada, atau pemilu isu kesehatan sering dikemukakan. Bukti yang paling jelas adalah rendahnya alokasi kesehatan di tingkat nasional, di mana anggaran kesehatan untuk Departemen Kesehatan selama hampir empat dekade belum pernah melampaui tiga persen APBN.

Begitu juga di banyak daerah, anggaran kesehatan belum masuk tiga terbesar. Padahal, dana publik seharusnya dipusatkan pada pembangunan infrastruktur ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Tiga unsur itu pula yang merupakan elemen indeks pembangunan manusia. Hal tersebut mungkin terkait dengan pola pikir (mindset) yang dibentuk dari undang-undang kesehatan lama yang penekanannya sebagai bagian dari unsur kesejahteraan.

Unsur kesejahteraan merupakan unsur residual dalam perencanaan dan alokasi anggaran. Para pejuang pembangunan kesehatan di pusat dan di daerah kerap tidak mampu mengubah pola pikir penentu anggaran untuk memprioritaskan kesehatan.

Sampai saat ini kuota anggaran departemen/dinas sudah dipatok karena pola pikir lama yang menempatkan kesehatan hanya sebagai unsur kesejahteraan yang residual, baik di tingkat kebijakan publik maupun di tingkat kebijakan korporat.

Perencana di Departemen Kesehatan atau dinas-dinas kesehatan mungkin hanya bisa mengutak-atik porsi subsektor dalam koridor kuota, untuk memprioritaskan program kesehatan yang memiliki daya ungkit tinggi. Sering kali daya ungkit politik yang lebih menonjol.

Konsekuensi Anggaran dan Sistem Pendanaan

Jika visi kesehatan sebagai investasi sumber daya manusia (SDM) sudah diadopsi, konsekuensi berikutnya adalah mewujudkan visi tersebut dalam tatanan aturan operasional. Kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan oleh sumber daya alam, sebagaimana kita terlena selama ini.

Kemajuan suatu bangsa,baik dalam bidang sains dan teknologi, bidang ekonomi, maupun bidang pertahanan dan sebagainya ditentukan utamanya oleh SDM. Itulah sebabnya, Israel, Jepang, Korea, dan Singapura yang relatif tidak memiliki sumber daya alam cukup, dapat menjadi pemain dunia.Kualitas SDM mereka bagus. Kualitas SDM Indonesia belum bagus karena sejak zaman Orde Baru lebih dari separuh ibu-ibu hamil dan anak balita menderita anemia kurang gizi.

Sementara otak manusia- yang merupakan central processing unit(CPU) SDM- dibentuk ketika masa emas pertumbuhan, yaitu selama dalam kandungan dan usia balita. Karena di masa lalu, investasi kesehatan bersifat residual, maka CPU SDM Indonesia tidak dikembangkan menuju kualitas prima dengan gizi dan derajat kesehatan tinggi. Jangan heran, jika bersaing di tingkat pekerjaan kuli saja (TKI di luar negeri),kita masih kalah dengan rekan tenaga kerja dari Filipina.

Nah, tantangannya adalah kita harus mengejar ketinggalan atau kekeliruan masa lampau yang berkomplikasi kebodohan dan kemiskinan yang masih menonjol di Indonesia. Koreksi investasi ini akan memakan waktu satu generasi. Tampaknya pembuat undangundang kesehatan telah berhasil menyepakati koreksi tersebut dengan mengharuskan pemerintah mengalokasikan belanja kesehatan minimal lima persen APBN di luar gaji.

Sementara pemerintah daerah wajib mengalokasikan belanja kesehatan 10 persen APBD di luar gaji. Tampaknya memang pembuat undang-undang ingin mengejar perjuangan hak pendidikan yang berhasil mematok belanja 20 persen dari belanja Negara. Perlu dipahami bahwa pendidikan adalah proses pengolahan bahan baku, yaitu SDM.

Adapun kesehatan berfungsi pembuat bahan baku.Jika bahan baku jelek, proses pendidikan tidak akan bisa menghasilkan bahan baku SDM berkualitas. Sampai kewajiban alokasi belanja, pembuat undang-undang telah berhasil maju satu langkah. Tantangannya adalah, apakah para penentu kebijakan perencanaan dan penentu anggaran akan patuh dengan undang-undang ini? Jangan-jangan mereka berpandangan bahwa undang-undang yang baru itu ulahnya orang kesehatan untuk mendapat proyek baru.

Sebab, banyak UU lain juga mengharuskan penambahan anggaran belanja negara (termasuk daerah). Tantangan berikutnya, apakah pengelola dana (Departemen Kesehatan dan dinas-dinas kesehatan) mampu menyerap dana tersebut dengan baik dan bertanggung jawab? Jangan sampai pengelola kemudian mengikuti sebagian pola penyerapan anggaran pendidikan, yang banyak digunakan untuk menaikkan gaji/tunjangan pengelola.

Penambahan anggaran harus dinikmati oleh rakyat,bukan oleh pengelola dana pemerintah. Selanjutnya sistem pendanaan yang berkelanjutan yang telah diatur dengan UU SJSN harus segera dilaksanakan. Syukurlah, UU Kesehatan yang baru tidak lagi mengatur Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang merupakan konsep asuransi komersial yang memang seharusnya tidak diatur dalam undang-undang kesehatan.

Undang-undang yang baru mengindikasikan pendanaan sumber swasta melalui mekanisme asuransi sosial, sebagaimana diatur Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Semoga peraturan pelaksanaan undang-undang ini segera dirumuskan dan para pejabat terkait sadar akan tanggung jawab mereka terhadap generasi yang akan datang.Semoga mereka tidak terjebak pada kepentingan jangka pendek. Inilah wujud investasi kesehatan sebagai investasi SDM. Investasi jangka panjang.

0 komentar:

Caution : Wajib diklik

Followers

Caution : Wajib diklik