JAKARTA - Penurunan suku bunga acuan BI Rate 25 basis poin (bps) dari 9,5 persen menjadi 9,25 persen harus disertai dengan pemberian stimulus bagi perekonomian nasional. Pemberian stimulus akan membantu para pengusaha dan menggerakkan sektor riil.
Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Ketua Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kadin Indonesia Bambang Soesatyo, Jumat (5/12/2008).
Bambang menuturkan strategi BI Rate yang tinggi untuk menarik kembali dana asing (hot money) masuk sistem perbankan nasional terbukti gagal.
Sebab menjadi tidak relevan dengan pergerakan modal di pasar uang global saat ini.
"Perekonomian nasional membutuhkan kebijakan fiskal dan moneter yang memiiiki kekuatan stimulus. Skala penurunan BI Rate menjadi 9,25 persen tidak punya kekuatan untuk menstimulus perekonomian nasional yang terus menerus diselimuti kecemasan," jelasnya.
Alih-alih bertahan, lanjut Bambang, hot money justru terus ditarik keluar kendati BI Rate di posisi 9,5 persen. Sebaliknya, BI Rate yang tinggi justru berpotensi melumpuhkan sektor bisnis dalam negeri.
"Orang malas dan takut berinvestasi, sementara konsumen atau debitor terancam gagal bayar, misalnya debitor sektor perumahan," imbuhnya.
Bambang menuturkan jika hanya menurunkan BI Rate menjadi 9,25 persen, BI dan Pemerintah bertindak setengah-setengah dan serba tanggung dalam merumuskan stimulus ekonomi. Dalam bidang fiskal, pemerintah baru menurunkan harga premium bersubsidi Rp500 per liter dan insentif pajak Rp12,5 triliun.
Bambang menambahkan tiga langkah ini belum memiliki kekuatan untuk menstimulus perekonomian nasional. Idealnya, BI Rate diturunkan jadi 8,5 persen, harga BBM bersubsidi diturunkan sebesar Rp1.000 per liter-nya dan memberikan kelonggaran pengusaha menunda pembayaran pajaknya.
Jumat, 05 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar