Belakangan ini muncul desakan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan penjaminan penuh (blanket guarantee) terhadap dana deposan perbankan.
Tujuannya adalah sebagai antisipasi agar pemilik dana di Indonesia tidak mengalihkan simpanannya ke bank-bank di luar negeri dan memicu capital outflow yang dapat semakin memperlemah kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Terlebih lagi, Eropa, Malaysia, dan Singapura telah memberlakukan kebijakan ini.
Peningkatan nilai penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar dinilai belum cukup untuk mencegah capital outflow. Untuk menghindari perburuan dolar AS lebih lanjut, pemerintah dinilai perlu menerapkan blanket guarantee.
Pemerintah diminta tidak terlalu percaya diri dengan kekuatan fundamental ekonomi kita saat ini, yang salah satu indikatornya adalah cadangan devisa sebesar USD57 miliar, mengingat negara sekelas Singapura dan Malaysia yang memiliki cadangan devisa di atas USD100 miliar saja menempuh langkah ini.
Menurut mereka, blanket guarantee justru dibutuhkan untuk menjaga agar fundamental ekonomi yang kuat ini tidak terganggu akibat pelemahan kurs rupiah.
Langkah antisipasi untuk mencegah agar rupiah tidak melemah memang sangat dibutuhkan saat ini. Oleh karena itu, ide blanket guarantee untuk mencegah pelemahan rupiah memang penting untuk dikaji. Beberapa ekonom seperti Furman (1998), Stiglitz (1999, 2002), Radelet dan Sachs (1998) berargumen bahwa penerapan blanket guarantee lebih awal (sebagai preemptive action) diyakini dapat menekan kerusakan dan biaya krisis menjadi lebih kecil.
Persoalannya, penerapan blanket guaranteemembutuhkan pertimbangan matang, baik dari sisi efektivitasnya maupun kemampuan APBN. Tidak kalah penting adalah bagaimana mengomunikasikan bahwa kebijakan ini merupakan langkah pencegahan, bukan pengobatan, sehingga tidak ditangkap publik sebagai indikasi bahwa perbankan kita memang dalam kondisi krisis.
Blanket guarantee adalah instrumen tindakan darurat, bersifat sementara dan biasanya diterapkan ketika terjadi krisis sistemik di sektor perbankan. Tujuannya adalah untuk meredakan pelarian simpanan dan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Karena lazimnya diberlakukan pada situasi krisis, sementara perbankan kita saat ini tergolong sehat, maka jika kebijakan ini gagal dikomunikasikan secara baik, bisa jadi hasilnya justru blunder, yaitu menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankan.
Jika dianalisis, Eropa memang sangat wajar bila memberlakukan blanket guarantee, sehingga tidak serta-merta bisa dijadikan rujukan. Eropa, baik ekonomi maupun perbankannya, sangat terpengaruh krisis keuangan di AS. Dapat dikatakan bahwa perbankan Eropa memang sedang dalam kondisi krisis dan perlu blanket guarantee.
Sementara Singapura adalah salah satu pusat keuangan dunia dan sangat terkait dengan sistem keuangan AS. Malaysia adalah negara yang sangat mengandalkan ekspor, karena PDB Malaysia mayoritas berasal dari ekspor. Jadi, kedua negara ini memiliki alasan kuat menerapkan blanket guarantee.
Masalah Pokok
Pada awal Februari 1998, kita pernah menerapkan blanket guaranteeuntuk mencegah rush akibat kebijakan likuidasi 16 bank pada November 1997. Namun, kebijakan ini dinilai terlambat karena baru dilakukan ketika kepercayaan masyarakat sudah di titik terendah.
Karena itu, blanket guarantee saat itu dianggap sebagai akibat dari kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan kegagalan sistem perbankan. Padahal bila upaya restrukturisasi perbankan dilakukan dengan menggunakan pendekatan strategi komprehensif, pemberlakuan blanket guarantee sesungguhnya dapat dihindarkan. Untuk mengatasi kepanikan masyarakat pada situasi krisis, memang tidak bisa hanya mengandalkan penjaminan oleh asuransi deposito atau LPS yang sifatnya terbatas.
Untuk mencegah krisis sistemik, blanket guarantee hanya bisa kredibel jika disponsori pemerintah. Namun, blanket guarantee memiliki dua masalah pokok yang dapat menyebabkannya menjadi tidak efektif. Pertama, tidak bisa sepenuhnya kredibel bila tidak diikuti mekanisme capital control.
Sebagaimana dijelaskan di atas, motif dari blanket guarantee adalah untuk mencegah terjadinya capital flight. Kalaupun kita saat ini menerapkan blanket guarantee, belum tentu hal itu mencegah capital flight.Kenapa? Dalam liberalisasi finansial, uang tidak mengenal negara. Bila tiap negara telah memiliki system pengaman yang memberikan rasa aman yang sama, uang akan lari ke negara yang memberikan return tertinggi.
Maka kalaupun Indonesia menerapkan blanket guarantee, uang akan tetap lari ke Singapura jika ternyata return di negara itu lebih menjanjikan. Kedua, bila dioperasikan tidak sesuai dengan kaidah pasar asuransi, blanket guarantee berpotensi menimbulkan moral hazard. Di beberapa negara yang pernah sukses dengan blanket guarantee seperti Swedia, Turki, Finlandia, Thailand, dan Korea, keberhasilan itu tak lepas dari kemampuan meminimalkan moral hazard baik melalui penalti suku bunga tinggi atau bentuk penalti nonmoneter.
Berdasarkan analisis tadi, putusan menerapkan blanket guarantee harus dihitung secara matang, bukan sekadar mengikuti euforia di luar negeri. Komunikasi yang baik sangat dibutuhkan bila pemerintahmengambillangkahini. Tak kalah penting, pemerintah perlu mengimbangi blanket guarantee dengan mekanisme capital control agar efektif dan kredibel. Bahkan, saya berpendapat bahwa penerapan capital control tanpa harus memberlakukan blanket guarantee sesungguhnya cukup dapat diandalkan, jika memang tujuan yang hendak dicapai adalah meredam pelemahan rupiah.
Kebijakan capital control antara lain dapat dilakukan dengan menerapkan pajak atas transaksi valas (biasa dikenal dengan Pajak Tobin/Tobin Tax) ataupun dengan melakukan pembatasan transaksi valas yang tidak didukung underlying transaction yang kuat.
Rabu, 12 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar