JAKARTA - Target pertumbuhan ekonomi di level 4,5% tahun ini semakin sulit dicapai, bila nilai tukar rupiah terus terdepresiasi oleh mata uang Amerika Serikat (USD). Pelemahan rupiah akan memberi ruang bagi inflasi yang selanjutnya mengganggu pertumbuhan ekonomi.
"Lebih-lebih jika pelemahannya semakin liar," ujar Ekonom BNI A Tony Prasetiantono saat dihubungi, Minggu (22/2/2009). Dia mengatakan, nilai tukar rupiah tertekan karena terjadi repatriasi modal global atau larinya dana asing keluar negeri.
Saat ini, lanjut Tony, negara sasarannya adalah AS yang tengah sibuk menerbitkan obligasi negara untuk menutup pembengkakan defisit anggaran akibat paket stimulus fiskalnya. Menghadapi pelemahan rupiah, Bank Indonesia dinilainya takut melakukan intervensi karena cadangan devisa nasional sudah terkuras.
Saat ini jumlah cadangan devisa tinggal USD50 miliar dari posisi Juli 2008 USD57 miliar. Pemerintah, menurutnya, perlu mencari utang bilateral untuk menambah cadangan devisa. "Yang paling potensial hanya dari China dan Jepang karena cadangan devisanya sangat besar," kata Tony.
Tony memperkirakan nilai tukar rupiah bisa stabil di level Rp12.000/USD pada pekan ini. "Suatu saat rupiah akan mengempis juga karena ada titik jenuhnya," kata dia ihwal tren pelemahan rupiah.
Senin, 23 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar