JAKARTA - Harapan penurunan BI rate, dinilai masih belum bisa mendorong rupiah menguat. Pasalnya votalitas rupiah yang besar belum bisa meredam, antara permintaan dan suplai.
Meskipun demikian, rupiah diharapkan bisa lebih jinak dengan catatan Bank Indonesia tidak lagi memakai teori lama, di mana untuk menekan inflasi dibutuhkan kenaikan BI rate.
Di sisi lain, memerangi pasar importi ilegas dari China yang dinilai faktor tingginya permintaan dolar Amerika. "Sudah saatnya BI melihat lebih bijak mengatasi nilai tukar rupiah dengan cara antisipasi dan bukan reaktif," kata pengamat keuangan dari Currency Managemen Group Farial Anwar, di Jakarta, Kamis (4/12/2008).
Menurutnya, tidak ada alasan lagi, BI masih mempertahankan BI ratenya. Karena dampaknya tetap merugikan dunia usaha yang sulit mendapatkan kredit dari bank, karena dunia perbankan juga ikut menaikan suku bungan yang melebih kenaikan BI rate.
Dirinya mengusulkan, BI segera menurunkan BI rate tidak lagi 50 basis point, tetapi 100 basis poin sebagaimana yang telah dilakukan di negara-negara lain. "BI rate 100 persen sangat mungkin dilakukan, bila BI peduli pada dunia usaha," tandasnya.
Turunya BI rate 100 persen akan bisa merangsang pertumbuhan perekonomian. Pasalnya, dunia usaha akan mudah mendapatkan kredit dan suku bungan yang kecil dari perbankan.
Sementara untuk perdagangan valuta asing, trading rate rupiah masih di posisi Rp11.900 untuk batas bawah dan batas atas Rp12.300 hingga Rp12.400 per USD. "Pergerakan rupiah sudah tidak bisa di analisa seperti dulu," ungkapnya.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah pada perdagangan Rabu (3/12/2008) tidak mengalami penguatan yang sangat signifikan. Rupiah ditutup menguat 50 poin ke posisi Rp12.250 dari batas bawah penutupan perdagangan Selasa 2 Desember kemarin di posisi Rp12.300 per USD. Rupiah berjalan di kisaran terendah Rp12.250 per USD dan tertinggi di level Rp12.400 per USD.
Kamis, 04 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar