JAKARTA - Meskipun pasar farmasi semakin tertekan, PT Darya Varia Laboratoria Tbk (DVLA) optimis bisa meraih pertumbuhan penjualan di tahun depan pada 2009. Akuisisi lisensi yang baru saja dilakukan agar memberi dampak, kenaikan penjualan hingga 50 persen, pada 2009.
"Dengan asumsi pasar normal, akuisisi lisensi yang telah dilakukan akan meningkatkan penjualan kurang lebih 50 persen di tahun 2009," ujar Direktur Utama DVLA Manuel P Engwa, di Jakarta, Rabu (3/12/2008).
Pada 25 November lalu, perseroan telah menandatangani perjanjian dengan tujuh produsen obat terkemuka di dunia, antara lain Biomedis Ltd, Medhicem Pharmaceuticals Ltd, Pediatrica Ltd, Therapharma Ltd, Unam Brands Ltd, United American Pharmaceuticals Ltd dan Westmont Pharmaceuticals Ltd. Dengan adanya kerjasama tersebut, perseroan memegang lisensi 28 merek dagang atau 46 satuan unit terkecil. Lisensi tersebut terdiri dari produk-produk Ethical (obat resep dokter) dan OTC (pasar bebas).
Mengenai nilai perjanjian tersebut, perseroan tidak bisa mengatakan. Sebab, perjanjian dilakukan dengan sistim royalty fee. "Bentuk perjanjian tersebut berdasarkan penjualan. Jadi kami tidak bisa memberikan nilai kontrak tersebut," terang Manuel.
Meski penjualan diperkirakan meningkat, namun laba diperkirakan tertekan. Kenaikan harga bahan baku obat termasuk marjin dari pembelian bahan baku, yang menggunakan dolar, akan menggerus laba perseroan. Manuel belum bisa memberikan perkirakaan adanya penurunan. Namun, pihaknya optimis masih mencapai pertumbuhan.
Tahun ini, kenaikan rata-rata harga bahan baku obat sudah mencapai 30 hingga 40 persen. Namun beberapa bahan naik sangat signifikan. Untuk produk yang dikeluarkan DVLA, bahan baku utamanya bahkan sudah meningkat hingga 50 persen. Sementara harga jual sendiri, per 30 September, perseroan baru menaikan empat hingga lima persen.
Selain itu, kenaikan nilai mata uang dolar AS, terhadap rupiah juga memberi beban tambahan terhadap marjin. Menurut Direktur Keuangan DVLA, Oscar E Carag, dengan kurs saat ini, dimana dolar mencapai Rp12.000, perseroan mengalami beban kenaikan marjin yang besar. "Tanpa adanya kenaikan bahan baku. Kami sudah mengalami kenaikan harga bahan baku yang cukup tinggi," terang Oscar.
Hingga akhir tahun ini, perseroan sudah mengamankan pasokan bahan baku, dengan membeli di harga kurs Rp9.000. Namun untuk tahun 2009, perseroan masih harus membeli bahan baku dengan kurs baru. Data ekpetasi rupiah terhadap dolar AS, yang dikeluarkan Hongkong Bank pada 2009 adalah sekitar Rp13.500.
Dengan asumsi tersebut, maka kemungkinkan perseoan akan mengalami penurunan marjin hingga 63 persen. "Sementara kalau dolar adalah Rp10.000, penurunan diperkirakan sebesar 58 persen," jelasnya.
Hingga 30 September 2008, DVLA membukukan penjualan bersih Rp486,037 miliar denganbperolehan laba bersih Rp64,276 miliar. Namun perseroan belum dapat memberikan proyeksi penjualan tahun penuh 2008.
Untuk pangsa pasar, tahun 2008 ini, perseroan memperkirakan sebesar 3 persen. Dengan asumsi obat tahun ini yang akan mencapai Rp28,267 triliun, hingga akhir tahun. Maka. DLVA akan meraih penjualan full year sebesar Rp848,01 miliar, naik 66,44 persen dibanding penjualan 2007 sebesar Rp509,498 miliar.
Sementara untuk 2009, pasar obat diperkirakan tetap tumbuh hingga 11 persen. Dengan asumsi pangsa pasar yang tetap dipertahankan sebesar 3 persen, perseroan kemungkinan akan mencapai penjualan sebesar Rp941, 39 miliar. Dengan asumsi tersebut, perseroan diperkirakan mencapai pertumbuhan sekitar 11 persen.
Untuk modal belanja atau capex (capital expenditure) 2009, perseroan menyiapkan dana Rp37 mliar. Dimana 65 persen dana tersebut dialokasikan untuk penambahan kapasitas produksi. Sementara sisanya akan digunakan untuk penambahan peralatan kantor, seperti alat-alat kantor, mobil dan kebutuhan kantor lainnya.
Perseroan baru saja melakukan penjualan pabrik lama mereka, PT Pabrik Obat Dupa, di kawasan Kalibata. Pabrik yang sudah tidak beroperasi sejak 1998 itu dijual seharga Rp29 miliar. "Itu untuk tanah dan bangunan saja. Sementara peralatan, sudah kami alihkan ke pabrik di area lainnya," terang Oscar.
Saat ini, perseroan tengah dalam negosiasi untuk menjual pabrik Can Rose Indonesia, di Bogor. "Penjualan ditangani oleh perusahaan property Ray White. Karena, kami memang hanya menjual lahan dan bangunan saja," beber Oscar lagi.
Rabu, 03 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar