JAKARTA - Real Estate Indonesia (REI) melayangkan surat kepada Presiden terkait pengetatan likuiditas perbankan, terutama pada kredit pemilikan rumah (KPR).
Ketua Umum REI Teguh Satria mengungkapkan, surat yang disampaikan pada 10 November tersebut berisi permintaan kalangan pengembang agar pemerintah mencarikan jalan keluar atas persoalan tersebut.
"Ekspektasi kami agar pemerintah bisa mencarikan jalan supaaya fleksibilitas perbankan, khususnya untuk KPR, tetap terjaga," ujarnya, di Jakarta kemarin.
Menurut Teguh,jika kondisi ini tidak berubah maka dikhawatirkan akan berdampak pada kelangsungan usaha pengembang. Persoalannya, sektor properti merupakan sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja dan hampir 100 persen menggunakan produk material domestik. Dia menambahkan, pengetatan likuiditas sudah berlangsung sejak dua bulan terakhir.
Perbankan, baik BUMN maupun swasta,melakukan pengetatan dengan berbagai cara, di antaranya dengan meningkatkan syarat uang muka dari biasanya 10 persen menjadi 30 persen. Imbasnya, tutur dia, tingkat penjualan properti dalam bentuk perumahan dan apartemen diproyeksikan anjlok hingga 40 persen. Penurunan terutama terjadi pada KPR nonsubsidi. Bahkan, katanya, akibat kesulitan pengajuan KPR, kapitalisasi sektor properti pada 2008 bisa lebih rendah dibanding 2007 yang mencapai Rp100 triliun.
"Mulanya kapitalisasi tahun ini kita proyeksikan bisa mencapai Rp120 triliun. Tapi dengan hambatan ini, kita meragukan proyeksi itu bisa tercapai," tuturnya. Direktur Permukiman dan PerumahanBappenasBudiHidayat mengaku heran dengan perbankan yang mempersulit penyaluran KPR. Pasalnya, pemerintah telah memberikan subsidi bunga kredit KPR,terutama untuk kategori rumah sederhana (RSh) dan rumah susun (rusun).
Budi menandaskan, Bappenas dan Kementerian Negara Perumahan Rakyat bakal melihat dan mencari tahu alasan perbankan melakukan pengetatan untuk kredit KPR. "Kita akan mengambil tindakan, misalnya bila bunga kredit KPR mencapai minimum 17 persen,"ujarnya.
Sementara itu, survei harga properti residensial yang dilakukan di 14 kota di Indonesia sebelumnya menunjukkan, indeks harga properti residensial pada kuartal III-2008 tercatat sebesar 155,58 atau meningkat secara triwulanan ataupun secara tahunan. Secara triwulanan, indeks harga naik 0,97 persen. Namun, kenaikan ini lebih rendah dibandingkan kenaikan pada kuartal sebelumnya sebesar 1,86 persen.
Sementara secara ta-hunan, harga properti residensial naik 5,67 persen,lebih tinggi dari kenaikan triwulan sebelumnya. Kenaikan harga ini terutama disebabkan kenaikan harga bangunan serta kenaikan harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga terjadi pada semua tipe rumah, dengan kenaikan tertinggi terjadi pada tipe rumah kecil sebesar 1,17 persen (secara triwulanan). Secara tahunan, kenaikan harga tertinggi terjadi untuk tipe rumah menengah dengan kenaikan sebesar 6,61 persen.
Berdasarkan wilayah, Bandar Lampung me-rupakan wilayah yang mengalami peningkatan harga rumah tertinggi, yaitu 2,74 persen (triwulan), terutama pada rumah tipe menengah (3,41 persen). Untuk wilayah Jakarta,Bogor, Depok, Bekasi (Jabodebek) dan Banten,harga rumah mengalami kenaikan sebesar 0,71 persen, lebih rendah dibandingkan kenaikan pada triwulan sebelumnya sebesar 1,74 persen.
Secara tahunan,Manado merupakan wilayah yang mengalamipeningkatanharga rumah tertinggi,yaitu 11,64 persen (tahunan),terutama pada tipe rumah menengah (12,97 persen).
Rabu, 12 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar