KRISIS ekonomi dunia kali ini, yang disebutsebut sebagai terparah sejak Depresi Besar 1930, semakin bertambah tidak pasti seusai Konferensi Tingkat Tinggi G- 20 (G-20 Summit) di Washington DC, Amerika Serikat (15-16/11/2008).

Berbagai kalangan menyebut hasil pertemuan tersebut tak lebih sebagai penegasan kembali prinsip-prinsip dasar pengelolaan ekonomi yang diajarkan pada kelas-kelas ekonomi elementer di bangku kuliah. Apa yang baru bila yang dinyatakan adalah arti penting transparansi, akuntabilitas, manajemen risiko, kerja sama antarnegara, dan sejenisnya?

Sebelum pertemuan digelar,Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush sudah tegas-tegas menyatakan bahwa kapitalisme dan persaingan bebas yang selama ini telah membawa kemajuan besar dalam peradaban dan kesejahteraan manusia adalah inovasi kelembagaan yang luar biasa dan harus tetap dipertahankan dengan perbaikan secukupnya. Bush bahkan mencurigai sebagian usulan untuk memperketat regulasi pasar keuangan dunia sebagai bagian dari agenda sosialisme.

Bush adalah contoh pemimpin yang percaya ideologi dasar pasar bebas yang berkeyakinan bahwa "capitalism is altruistic not in intent but in result". AS di bawah Presiden Bush memang tampil sebagai AS yang sangat percaya diri dan terkesan tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di belahan bumi lain.

Pokoknya selama dolar dijadikan mata uang jangkar dan cadangan devisa utama dunia, dan selama negaranegara dunia masih tetap menempatkan investasi mereka ke dalam surat-surat obligasi Pemerintah AS, ekonomi AS akan tetap aman dan urgensi untuk menyelamatkan krisis pertama-tama merupakan tanggung jawab bersama,bukan tuntutan sepihak kepada AS agar keluar sebagai pahlawan penyelamat krisis.

Itu sebabnya Bush menerima usulan reformasi arsitektur keuangan dunia yang disampaikan Presiden Sarkozy dari Prancis dengan sebelah mata. Bush juga melihat peran negara-negara berkembang yang tumbuh sebagai kekuatan baru seperti Brasil, Rusia, India, dan China (BRIC) sebagai pendatang baru yang harus belajar lebih lama tentang keajaiban pasar (the miracle of the market).

Bush sungguh licin, di satu pihak mendesak negara-negara kaya merogoh kocek lebih banyak untuk penyelamatan ekonomi, tetapi di pihak lain berkeberatan untuk memberi porsi peran lebih besar dalam pengaturan (governance) ekonomi dunia. Selama ini Bush sangat mendukung agenda liberalisasi pasar dan privatisasi yang merupakan program pokok Dana Moneter Internasional (IMF).

Tetapi, berkaitan dengan pengaturan untuk melindungi negara berkembang dari ancaman spekulasi para pemain valuta asing, salah satunya pemberlakuan pajak khusus yang diusulkan almarhum James Tobin, pemenang Nobel Ekonomi 1981, Bush tak banyak bicara.Hal yang sama dengan privatisasi yang di banyak negara berubah menjadi piratisasi (perampokan) aset oleh pemodal asing besar, hal yang berkali-kali diungkapkan oleh Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, Bush menilainya sebagai konsekuensi logis dari mekanisme pasar bebas.

Alhasil, tidak mengherankan begitu Pertemuan G-20 berakhir, bursa-bursa utama dunia menyambutnya dengan penurunan indeks. Jepang bahkan menindaklanjutinya dengan secara resmi menyatakan ekonomi memasuki masa resesi, menyusul pernyataan Inggris dan Jerman sebelumnya.Kini lengkaplah sudah, tiga kawasan manggala jagat (triad power), meminjam istilah Kenichi Ohmae, mempertontonkan sikap "tunggu dan lihat" (wait-and-see) dan seperti memberi isyarat untuk tidak mau tampil sebagai "pahlawan" penyelamat krisis.

Negara-negara maju ini hanya terus memberi semangat China dan negaranegara kaya di Kawasan Teluk untuk memompa likuiditas dunia dengan menggelontorkan cadangan kekayaan mereka. Dalam kondisi krisis, negara miskin memang selalu berada dalam posisi sulit. Indonesia yang datang dengan usulan pembentukan "Global Expenditure Support Fund"(GESF) atau dana bersama yang didukung negara kaya (reserve-rich countries) untuk memudahkan akses likuiditas bagi negara yang paling membutuhkan, terpaksa harus puas dengan wacana dan janji saja.

Semua negara cenderung berhitung untuk menyelamatkan kepentingannya terlebih dulu. Itu sebabnya Departemen Keuangan bertindak cepat dengan mengirim proposal untuk mendapatkan bantuan bilateral dari sejumlah negara. Demikian pula ketersediaan fasilitas pinjam-meminjam devisa (reserve swap) dalam rangka Chiang Mai Initiative di lingkungan ASEAN harus dimaksimalkan.

Dalam jangka pendek, Indonesia membutuhkan sekurang-kurangnya USD5-10 miliar, agar pemerintah masih bertaji dalam menciptakan stimulus fiskal untuk meredam ancaman resesi. Bila dalam jangka pendek tak ada langkah yang kredibel, orang memang mulai khawatir akan mata uang rupiah yang bisa merosot hingga mendekati Rp15.000 per USD, penurunan secara tajam ekspor dan cadangan devisa, serta mengundang kembali IMF, sebagaimana tahun 1998.

Berbagai kalangan juga menduga akan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri padat karya berorientasi ekspor mulai awal tahun depan.Pelambatan ekonomi ini didukung data yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS, 17/ 11/2008). Krisis kredit perumahan yang terjadi karena kegagalan bayar kelompok "NINJA" (No Income No Job & Asset) di AS meletus Juli 2007.

Dibutuhkan waktu sekitar 6-9 bulan sebelum satu per satu lembaga keuangan besar bertumbangan, dan 9-12 bulan sebelum industri riil papan atas AS meneriakkan kebutuhan penyelamatan (bailout). Data menunjukkan, sejak 1970 resesi berlangsung rata-rata selama 62 pekan. Ini berarti,kondisi ekonomi terberat akan dihadapi Indonesia mulai tahun depan sampai pertengahan 2010.

Tak ada pilihan lain, kita tetap harus berhemat, mempertajam skala prioritas program, meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, membuka pasar ekspor baru, dan memperkuat pasar dalam negeri. Kebijakan ekonomi baru (new deal) dibutuhkan. Bila tidak, pasar akan sulit melihat harapan dan fajar baru di hari depan.

0 komentar:

Caution : Wajib diklik

Followers

Caution : Wajib diklik