"Sekarang waktunya beli," begitu yang sering kita dengar sehari-hari di Bursa Efek Indonesia (BEI) belakangan ini. Cukup banyak pelaku pasar, analis dan bahkan orang-orang yang tidak pernah berkecimpung di pasar modal mengatakan hal serupa, seolah-olah harga saham tidak bakal turun lagi.
Pertanyannya benarkah harga saham tidak akan turun lagi? Diyakini, tidak ada satupun yang berani menjamin bahwa harga saham tidak akan turun kembali. Tidak ada yang bisa memastikan, analis kelas wahid sekalipun kapan indeks akan rebound dan melesat kembali.
Lantas, apa artinya pernyataan,''Sekarang waktunya beli''. Apakah ini pernyataan salah dan menyesatkan atau mengada-ada agar memancing orang untuk membeli dan di saat investor bersemangat belanja ada pihak lain yang ancang-ancang keluar pasar alias mau jual.
Pernyataan itu bukan pernyataan salah apalagi mengada-ada. Pernyataan itu tentu memiliki argumentasi yang kuat. Pelaku pasar mana yang tidak risau melihat harga saham berguguran, indeks merosot begitu tajam. IHSG yang di awal tahun tegar di posisi 2.800-an lantas tumbang, terpaku di kisaran 1.300-an.
Mengapa perusahaan-perusahaan yang memiliki fundamental kuat, harga sahamnya berguguran? Mengapa saham seperti Astra International (ASII), Semen Gresik (SMGR), Aneka Tambang (ANTM), Tambang Bukit Asam (PTBA), Indofood Sukses Makmur (INDF) tak juga segera bangkit? Padahal kinerja mereka sampai kuartal 3 cukup mengkilat. Sampai kapan koreksi pasar ini akan berlangsung? Kapan harga saham dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun hingga mencapai titik terendah?
Titik terendah, itulah yang menjadi kata kunci. Tidak ada yang bisa meramal di mana persisnya titik terendah IHSG. Ada yang menyebut IHSG yang telah menyentuh posisi 1.111 beberapa waktu lalu merupakan titik terendah, dan karenanya hari-hari mendatang adalah masa kebangkitan. Tapi ada juga pendapat yang mengatakan titik terendah belum terjadi. Barisan risiko masih berderet. Ada risiko valas, ketidakpastian pasar regional, turunnya pertumbuhan ekonomi makro hingga risiko politik menjelang Pemilu 2009 mendatang. Deretan risiko itulah yang membuat sebagian pelaku pasar belum tergerak aktif membenamkan uangnya untuk belanja saham.
Memang, menebak titik terendah IHSG memang tidah mudah. Namun, harus dilihat fakta-fakta yang sudah terjadi dan tampak jelas. IHSG BEI telah terkoreksi lebih dari 50%. Ini penurunan yang cukup tajam dan kurang logis. Penurunan itu lebih banyak disebabkan oleh sentimen pasar luar negeri, bukan karena buruknya kondisi ekonomi dalam negeri. Data-data ekonomi makro menunjukkan stabilitas yang cukup. Kendati kurs rupiah melemah dibandingkan dolar AS, dan inflasi telah di atas satu digit, namun secara fundamental, ekonomi Indonesia masih cukup sehat dan performance emiten juga stabil.
Karena itu, kendati tidak tahu di mana persisnya titik terendah, sudah cukup alasan bagi pemilik dana untuk segera memilih dan menyeleksi saham yang menjadi impiannya. Kalaupun kita tidak tahu dimana persisnya titik terendah, tapi dengan data penurunan IHSG yang lebih dari 50%, dan masih bergerak di kisaran 1.300-an rasanya titik terendah itu sudah dekat. Bukan tidak mungkin titik 1.111 merupakan titik terendah tahun ini. Kalaupun masih ada risiko koreksi, tapi risiko itu tidak sebesar ketika IHSG masih bertengger di level 2.000-an. Dus, nunggu apa lagi untuk masuk ke pasar?
Senin, 17 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar